Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Tuesday, March 24, 2009

Urgensi Alat Bukti Pengamatan Hakim dalam RUU KUHAP

Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970: 11).

Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan pula hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Abdul Manan, 2005: 22). Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, pendapat ini memiliki maksud, bahwa jika nilai-nilai dalam masyarakat berubah, maka selayaknya hukumpun mengikuti perubahan tersebut. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah, apakah hukum yang senantiasa mengikuti perubahan tersebut dengan konsekuensi hukum akan selalu tertinggal di belakang, ataukah hukum yang memprakarsai perubahan tersebut. Berbicara tentang perubahan hukum ini, kita mengingat kembali pemeo yang sangat terkenal yaitu Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Terlepas dari pandangan hukum berubah mengikuti perubahan masyarakat atau hukum sebagai alat mengubah masyarakat, para ahli hukum sepakat, bahwa hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis dan harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi pada masa depan, hukum tidak boleh berorientasi kepada masa lampau. Menurut Achmad Ali (Achmad Ali, 1996: 215), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembagalembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum. Apabila suatu perkara dibawa ke pengadilan dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis sedangkan di lain pihak hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim pada penyelesaian perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materiil dari hukum. Berdasarkan beberapa ketentuan yang mengandung persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan menurut pendapatnya, pengertian hukum itu adalah asas hukum yang menjadi dasar lembaga yang bersangkutan. Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan konstruksi argumentum a contrario (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008: 13). Di dalam lapangan hukum pidana, perubahan masyarakat dan teknologi membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan hukum, baik hukum pidana materiil yang diimplementasikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) maupun dalam hukum pidana formilnya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketika tulisan ini dibuat sedang disusun dan dibahas draft perubahan baik KUHPidana maupun KUHAP. Salah satu perubahan yang dirasa cukup mendasar dalam RUU KUHAP tahun 2008 (selanjutnya disebut RUU KUHAP) yaitu dalam hal alat bukti yang dipakai dalam persidangan. Saat ini, pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah di persidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keteranangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim. Permasalahan alat bukti kerap membawa kesulitan baik lembaga Kepolisian selaku penyidik, lembaga Kejaksaan selaku penuntut maupun lembaga Peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara. Alat bukti yang ada sekarang dirasa sangat terbatas mengingat perubahan yang cukup pesat dalam masyarakat. Selain itu, dalam lapangan hukum pidana penafsiran, baik tentang duduk perkara maupun tentang alat bukti hanya terbatas pada penafsiran ekstensif, yaitu memberikan tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu. Adanya perubahan ini diharapkan memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, sesuai dengan amanat dalam pasal 16 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Permasalahan utama yang akan dibahas pada tulisan ini adalah sejauh mana arti penting alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti lainnya menurut perspektif RUU KUHAP. Pasal 177 RUU KUHAP memformulasikan alat bukti yang sah ke dalam beberapa jenis antara lain barang bukti; surat-surat; bukti elektronik; keterangan seorang ahli; keterangan seorang saksi; keterangan terdakwa dan pengamatan hakim. Hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam macam-macam alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah barang bukti, bukti elektronik dan pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan dari pasal 184 KUHAP adalah alat bukti petunjuk. Pada sub bab terdahulu telah dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP serta perbedaan mendasar antara alat bukti petunjuk dan alat bukti pengamatan hakim. Pada bagian ini akan coba dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 177 RUU KUHAP. Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 177 RUU KUHAP adalah sebagai berikut: a. Barang Bukti Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf a RUU KUHAP yang dimaksud dengan barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana (real evidence atau physical evidence) atau hasil tindak pidana. b. Surat-surat Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf b RUU KUHAP yang dimaksud dengan surat adalah segala tanda baca dalam bentuk apapun yang bermaksud menyatakan isi pikiran. Selanjutnya dalam pasal 178 RUU KUHAP dijelaskan secara lebih rinci, bahwa Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf b, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni : - Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya; - surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan; - surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya; - surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. c. Bukti Elektronik Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. d. Keterangan Ahli Menurut pasal 179 RUU KUHAP Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang dinyatakan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang pengadilan. e. Keterangan Saksi Menurut pasal 180 ayat (1) RUU KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf e RUU KUHAP sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan. Sedangkan definisi saksi sendiri menurut pasal 1 angka 25 RUU KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri atau didengar sendiri. f. Keterangan Terdakwa Menurut pasal 181 ayat (1) RUU KUHAP keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf f adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri. g. Pengamatan Hakim Pengamatan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) RUU KUHAP adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama sidang yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat-alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal 177 RUU KUHAP tersebut tidak semuanya baru, sebagaimana dimensi pembaharuan yang disampaikan oleh Ismail Saleh, tidak perlu membongkar keseluruhan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang tidak sesuai dengan perkembangan itulah yang akan diganti. Diantaranya yang ditambah dan diganti yaitu alat bukti barang bukti, alat bukti elektronik dan alat bukti pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti yaitu alat bukti petunjuk. Diantara beberapa alat bukti tersebut, alat bukti pengamatan hakim dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum.penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Dahulu hakim dianggap sebagai bouche de la loi atau hakim sebagai corong undang-undang. Hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undangundang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan dilarang melakukan penafsiran analogi. Alat bukti barang bukti, dan alat bukti elektronik, khusunya alat bukti elektronik merupakan dua alat bukti yang dapat dikatakan cukup berperan dalam proses penegakan hukum. Sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto (Soerjono Soekanto, 2007: 8), penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat; 5. Faktor budaya. Alat bukti barang bukti dan alat bukti elektronik merupakan dua unsur baru yang dimasukkan dalam alat bukti. Dahulu, hakim kesulitan apabila harus menafsirkan beberapa barang bukti yang akan dikualifikasikan sebagai alat bukti, namun dengan adanya dua alat bukti baru tersebut, penegak hukum khususnya hakim sangat terbantu dalam mengkualifikasikan alat bukti. Tepatlah kiranya jika keberadaan pengamatan hakim dianggap yang paling potensial dalam rangka penemuan hukum untuk perubahan hukum. Dalam KUHAP sekarang, dengan alat bukti petunjuk hakim dapat mendapatkan keyakinan dengan mengubungkan keterangan saksi, surat serta keterangan terdakwa untuk memperoleh persesuaian. Namun dengan alat bukti pengamatan hakim, hakim diberikan keleluasaan untuk mendapatkan persesuaian dari peristiwa pidana, alat bukti dan pelaku melalui pengamatan langsung selama proes persidangan berjalan. Hakim dapat menafsirkan segala keterangan yang diberikan oleh masingmasing saksi, mengkonfrontasikan dengan keterangan terdakwa serta menyesuaikan dengan alat bukti barang bukti dan alat bukti lainnya yang ada. Namun pengamatan hakim tidak serta merta memberikan keleluasaan hakim untuk mendapatkan keyakinan tentang terjadinya tindak pidana dan menentukan pelaku tindak pidana. Dalam melakukan pengamatan, hakim dituntut untuk mengedepankan hati nuraninya dalam menilai pemeriksaan secara cermat dengan arif dan bijaksana untuk mendapatkan keyakinan tentang jalannya suatu perkara yang sedang diperiksa. Keberadaan alat bukti pengamatan hakim dalam menggantikan alat bukti petunjuk dengan segala keterbatasannya dianggap cukup layak. Sebagaimana dibahas juga tentang keutamaan alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti petunjuk, diharapkan alat bukti baru yang ada dalam RUU KUHAP ini membawa banyak perubahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Hakim bukanlah corong undang-undang, melainkan sebuah lembaga independen yang dapat membuat hukum melalui penafsiran dan menemukan hukum. Kegiatan menafsirkan oleh hakim, sebagaimana disampaikan oleh Pitlo (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993: 80)terdapat unsur menciptakan. Dapat dikatakan, bahwa mereka yang menelanjangi apa yang terdapat dibelakang teks, hanyalah mengkonstantir apa yang ada, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pekerjaannya itu sekaligus bersifat mencipta, sebab tanpa kegiatan itu tidak dapat diketahui apa yang ada. Penafsir adalah seperti penggali harta karun, ia tidak menciptakan harta karun, tetapi tanpa kegiatannya menggali harta karun tidak ada artinya. Setiap penemuan adalah penciptaan. Demikian juga hakim yang menemukan hukum melalui penafsiran, maka ia telah melakukan penemuan hukum. Penemuan hukumpun dapat dikatakan pula sebagai pembaharuan hukum jika orientasi dari penemuan tersebut membawa perubahan.

6 komentar:

Anonymous said...

Jadi kalau RUU sudah disetujui oleh dpr, bisa dibilang kalau hakim dapat membuat peraturan baru atau hampir mirip dengan sistem common law? yang berarti indonesia yg berdasarkan civil law skrg sudah menjurus atau dipengaruhi oleh sistem common law?

Te Effendi said...

bukan membuat peraturan baru, tetapi mempermudah hakim untuk menjalankan tugasnya dalam menilai alat bukti...

dengan adanya alat bukti pengamatan langsung, hakim bisa menilai segala hal yang berlangsung dalam persidangan, mengkonfrontasikan dengan alat bukti lainnya, sehingga muncul kesesuaian yang berujung pada keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara.

Victoria Mc Mahon said...

Blog dan artikelnya bagus juga, komentar dan follow juga ya di blog saya www.when-who-what.com

Anonymous said...

improve search engine rank seo ranking backlink service back link building

Unknown said...

maaf nih om efendi, saya mau tanya, misalnya alat bukti hanya visum et repertum, tetapi kurang meyakini hakim, dalam naskah diatas om membahas alat bukti pemahaman hakim, jika misalnya om efendi jadi hakim, mana yang akaan menjadi bahan untuk mengambil keputusan?? trims.. sebelumnya izin download,,

Te Effendi said...

monggo mas Exaudi, alat bukti pengamatan hakim memang memiliki kedudukan yang penting untuk menunjang keyakinan hakim dalam memutus perkara, tapi alat bukti kan tidak boleh satu, minimal ada dua ditambah dengan keyakinan hakim. Misalkan hanya ada alat bukti visum, ditambah dengan keterangan terdakwa, tapi hakim tidak yakin, maka putusan pemidanaan tidak bisa dijatuhkan. IMHO lo ya...^^ terima kasih...

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes